Setelah Idul Qurban Prioritas Kualitas Iman
Sudahkah hikmah qurban
menampakkan diri dalam wujud kesiapan kita untuk berkorban apa saja demi
kejayaan Islam?
Puncak pembuktian adanya
iman, yaitu bila sudah tidak ada perintah yang dianggap berat, tidak ada tugas
yang sulit. Apapun dan bagaimanapun kalau yang namanya tugas, kalau namanya
garis hukum, sudah tidak dicari lagi alsannya untuk mengelak atau menghindar.
Itulah yang telah dibuktikan oleh Nabiullah Ibrahim
as bersama keluarganya. Beliau telah memberi contoh dan suri tauladan sebuah
iman yang sudah berbicara. Iman yang sudah berfungsi dan hidup. Sampai pada
perintah menyembelih anak sendiri, anak yang selama ini dirindukan kehadirannya
sebagai penerus missi dakwahnya, itupun dijalankannya.
Qurban yang merupakan pengabdian, sebagai wujud
ketaatan disambut dengan hati tulus tanpa penawaran. Mengharukan, sesungguhnya.
Tapi di sanalah sebenarnya terletek manisnya iman (khalawatul iman). Di sanalah terdapat kekuatan iman.
Masing-masing kita bisa menginstrospeksi diri
sendiri seberapa jauh jarak perbedaan kesediaan kita ber-qurban dengan tegaknya
ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT, dengan yang telah diperlihatkan oleh
Nabiyullah Ibrahim as. Ketaatan Ibrahim hendaknya kita jadikan sebagai
barometer dalam menilik posisi iman. Sejauh mana sebenarnya keimanan yang telah
kita miliki, supaya kita jangan tertipu oleh iman yang dalam bayangan saja.
Iman yang hanya berdasarkan perkiraan saja.
Iman memang menuntut harga sejauh itu, seimbang
dengan jaminan yang disediakan berupa syurga yang menjadi idaman. Terlalu wajar
kalau iman perlu dibuktikan dengan pengorbanan. Sebab jaminan iman adalah
syurga. Allah SWT berfirman:
"Apakah
kamu mengira akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan berbagai macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya, 'Bilakah
datangnya bantuan Allah?' Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat."
(Q.S. Al-Baqarah: 214)
Demonstrasi yang telah ditampilkan Nabiyullah
Ibrahim as merupakan kontrol kualitas iman. Inilah stantar penilaian tentang
tingginya sebuah pengorbanan.
Adakah kita beriman, masihkan kita beriman dan
adakah sebenarnya iman itu didalam dada? Apa yang telah kita korbankan, dan
berapa lagi yang akan kita korbankan? Perlu jawaban yang penuh kejujuran oleh
diri sendiri. Dari jawaban itulah kita nanti akan mengetahui posisi iman kita
yang sebenarnya. Sebab iman itu bukan saja penguakuan tapi juga pembuktian.
Iman bukan sekedar pernyataan tapi menuntut kenyaataan. Iman adalah kekuatan,
potensi dan modal perjuangan dalam upaya menegakkan kebenaran. Dengan demikian
iman pasti melahirkan riak dan gelombang. Ada aksi dan bukti yang menyatakan
keberadaannya secara pasti, yang dapat turut dirasakan juga oleh orang lain.
Iman indah dalam realita, bukan dalam berita, pada fakta bukan sekedar cerita.
Dalam statistika ummat Islam dinegeri kita sungguh
sangatlah besar. Dari 200 juta lebih, 90 prosennya adalah kaum muslimin. Tapi
kalau kita lihat kenyataan dilapangan, terlalu sulit rasanya kita percaya,
manakala kita ukur dengan nasib yang mereka alami. Baik ekonomi, apalagi
pendidikannya, lebih-lebih di bidang politik, terutama dalam memberi warna
dalam pembentukan peradaban, dalam pembentukan perilaku sehari-hari, dalam
berpakaian, dalam pergaulan dalam bermasyarakat.
Pendidikan kita hampir berbau Majusi, ekonomi kita
nyaris berwarna Yahudi kapitalis, politik kita berwarna sekuler, budaya kita
nihil nilai Islamnya. Hal ini kemudian diperparah dengan keberadaan sebagian
tokoh-tokoh agama dan ulama yang berkepribadian rapuh. Mereka gampang bertekuk
lutut oleh pengaruh penguasa. Sehingga yang terjadi adalah mereka tidak
independen lagi, mudah diperalat dan kehilangan pamor sebagai sosok pembimbing
ummat. Ciri khas ulama sebagai waratsatul-anbiya yang disegani karena membawa
cemeti dari langit, menegakkan hukum-hukum Tuhan, menjadi sirna oleh karena
kerapuhan pribadi dan besarnya cinta dunia. Terlalu lebar dalam memberikan
toleransi terhadap undang-undang berhala.
Kenapa ini semua bisa terjadi, sangat berbeda sekali
antara pernyataan dengan kenyataan, bertolak belakang antara pengakuan dengan
kelakuan. Inilah akibat dari pengakuan yang asal mengaku, sebelum pengakuan itu
diuji dan dibuktikan di lapangan. Kita selama ini tertipu oleh berita dan
cerita. Kita terbuai oleh angka dan jumlah-jumlah. Akibatknya kita tersentak
dan prihatin dikagetkan oleh kenyataan. Kita kaget dan terpukul oleh realita
bahwa kita sudah semakin tersingkir dari arena penentuan kebijakan. Kita terus
menerus menjadi penonton yang bukan sembarang penonton, tapi penonton yang
sudah dikebiri, diikat kedua belah tangan dan kaki, selain itu mulut dan mata
kita juga ditutup dengan plester. Dengan tidak sadar kita menghibur diri, sebab
kaum muslimin kini bagai didudukkan di atas tribun menempati kursi VIP, kita
seolah dimuliakan, selalu diatasnamakan. Kita lupa kalau posisi kita disana
tetap sebagai penonton. Tidak lebih. Kita tidak bisa mempengaruhi jalannya
permainan, tidak akan kebagian hadiah. Malahan nantinya disuruh membayar mahal,
rela atau tidak itu sudah resiko sebagai penonton. Kitalah yang harus membayar
para pemain itu. Begitulah kondisi kita kaum muslimin di negeri kita ini.
Sungguh sangat tragis. Kita telah kehilangan banyak
sekali kesempatan, tinggal bernostalgia, mengundang mimpi yang tak kunjung
datang, menunggu keajaiban yang tak kunjung muncul.
Tidak ada alasan bagi kita untuk menyalahkan
siapa-siapa. Begitupun tidak perlu menuding orang lain. Inilah sebagai akibat
dari iman kita yang belum berfungsi secara baik. Iman kita tidak kokoh, apalagi
tegar.
Bukankah selama ini kita terlalu sibuk mengejar
harta mati-matian, menuntut ilmu habis-habisan, memburu karir dan jabatan
dengan jungkir balik sehingga waktu yang ada telah habis untuk itu. Sementara
untuk memiliki iman, membina dan meningkatkan kadar iman jauh tidak seimbang.
Bahkan mungkin tidak diperhatikan sama sekali. Wajar kalau dimana-mana kita
tersisihkan. Di sana sini kita selalu terpukul.
Hendaknya peristiwa yang dialami Nabiyullah Ibrahim
as sekeluaarga menyentakkan kita untuk memulai dari sekarang. Kita melihat dan
minilai iman sebagai sesuatu yang mutlak mendapat perhatian yang wajar.
Tempatkanlah iman diatas semua prioritas. Allah swt dengan jelas dan tegas
menyatakan hal itu, "Kalianlah yang
berada pada peringkat atas jika kalian beriman." (Q.S. Ali 'Imran:
139)
Sudah waktunya memberi harga pada diri kita dengan
menempatkan iman lebih penting dari harta, ilmu, dan jabatan. Sekarang juga,
bukan besok, bukan pula lusa. Program pengadaan dan peningkatan iman inilah
program yang sangat mendesak. Sejarah sudah cukup menjadi saksi, kalau
segalanya sudah pernah kita miliki, tetapi ternyata belum dapat menghidangkan
Islam hingga memberi warna dalam kehidupan sehari-hari. Itu disebabkan karena
sektor iman yang belum mendapat porsi yang memadai. Iman masih dianggap masalah
kecil dari segala yang berbau bendawi.
Sejarah juga mencatat kalau kita sekian lama hanya
sibuk membenahi organisasi, asyik berbicara struktur, komposisi dan ambisi.
Membuang waktu yang tidak sedikit untuk kongres, musyawarah, raker dan diskusi
untuk hal-hal yang bersifat rutin. Mencataat siapa-siapa calon anggota baru dan
seberapa banyak sudah jumlah anggota yang dimiliki. Sementara itu, iman yang
justru potensi dasar selalu terkesan dianggap selesai, dikira sudah rampung
sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi.
Anggapan seperti ini, bahwa persoalan iman sudah selesai
adalah awal dari bencana ini. Sebab kapan dimulainya, kapan evaluasina,
bagaimana caranya? Kapan ujicobanya dan seterusnya. Akhirnya kita bertanya
kapan iman menjadi persoalan yang serius? Kapan iman jamaah kita menjadi topik
yang hangat? Kapan sektor keimanan ummat Islam menjadi proyek yang paling
mendesak?
Tentu bukan basa-basi jika Allah swt memberi jaminan
kepada orang -orang yang beriman, bahwa mereka akan diberi kekuasaan, seperti
kekuasaan yang telah diberikan kepada orang-orang sebelum mereka, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beiman diantara kamu dan mengerjakan amal yang shalih, bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaiman Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum bereka berkuasa." (Q.S. An-Nur: 55)
Informasi ini merupakan tantangan dan tuntutan,
bagaimana mewujudkan iman yang kita miliki itu menjadi kekuatan yang besar,
kekuatan yang meraksasa yang memungkinkan kita bisa memberi warna pada
kehidupan sehari-hari.
Kekuatan yang teramat dahsyat, itulah kekuatan yang
telah diperlihatkan oleh Nabiyullah Ibrahim as sehingga bukan saja berhasil
membina keluarga, akan tetapi mampu menyedot berjuta-juta manusia
berbondong-bondong hadir ke Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah, tempat kekuatan
iman itu didemonstrasikan. Berjuta-juta manusia itu tertarik oleh arus besarnya
keyakinan yang telah beliau perlihatkan kepada Allah swt.
(Disarikan
dari Khutbah 'Ied Pesantren Hidayatullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar