Rabu, 24 Oktober 2012

Mendapat pahala haji tanpa berhaji

Mendapat Pahala Haji Tanpa Berhaji


Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), seorang ulama asal Marwaz, Khurasan, mendambakan dua hal dalam hal ibadah, yakni haji dan jihad.
Dan, itu ia laksanakan secara bergantian setiap tahun. Tahun ini berjihad, tahun depan berhaji, betapa pun sulitnya.
Suatu waktu, Ibnu Mubarok berkeinginan pergi haji. Untuk itu, ia bekerja keras mengumpulkan uang. Dan ketika terkumpul, ia pun melaksanakan niatnya, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Ketika sudah selesai mengerjakan berbagai tahapan ibadah haji, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun ke bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat dalam perbincangan.
“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” tanya malaikat yang satu kepada malaikat lainnya.
“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat lainnya.
“Tapi, tak satu pun diterima, kecuali seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq yang tinggal di Damsyik (Damaskus). Dan berkat dia, maka semua jamaah yang berhaji diterima hajinya,” kata malaikat yang kedua.
Ketika Ibnu Mubarok mendengar percakapan malaikat itu, terbangunlah ia. Ia pun berkeinginan mengunjungi Muwaffaq yang tinggal di Damsyik. Ia telusuri kediamannya dan kemudian menemukannya.
Ibnu Mubarok lalu memberi salam kepadanya. Ia menyampaikan mimpi yang didapatnya. Mendengar cerita Ibnu Mubarok, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan. Dan setelah sadar, Ibnu Mubarok memohon agar Muwaffaq menceritakan pengalaman hajinya hingga ia memperoleh predikat haji mabrur tersebut.
Muwaffaq menceritakan bahwa selama lebih dari 40 tahun, dia berkeinginan untuk melakukan ibadah haji. Karenanya, dia pun mengumpulkan uang untuk itu. Jumlahnya sekitar 350 dirham (perak) dari hasil berdagang sepatu.
Ketika musim haji tiba, ia mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun mendatanginya dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan tersebut.
Tetangganya ini langsung menangis. Ia lalu menceritakan kisahnya. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis.
Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq langsung kembali ke rumahnya mengambil tabungannya 350 dirham untuk diserahkan kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” ungkapnya.
Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya haji adalah amal yang utama. Berjihad juga merupakan amal utama. Namun, menyantuni anak yatim, orang miskin, dan telantar merupakan amal yang lebih utama.
Karena, beribadah haji hanya untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya lebih besar. Wallahu a'lam

KEUTAMAAN PUASA ARAFAH


KEUTAMAAN PUASA ARAFAH
Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu
Sahabatku, insya Allah kamis 9 Dzulhijjah 1433 (24 Oktober 2012) atau sehari sebelum Idul Adha, para tamu Allah akan melaksanakan Wukuf di Padang Arafah.
Sungguh disunnahkan bagi umat Rasulullah yang tidak berwukuf untuk melaksanakan Puasa Arafah, inilah dalil keutamaan puasa Arafah:
  1. Meraih syafaat Rasulullah karena Puasa Arafah adalah puasa kesukaan Rasulullah, "Tiada dari hari dalam setahun aku berpuasa lebih aku sukai daripada hari Arafah. (HR Baihaqi)
  2. Penghapus dosa setahun yang lalu bahkan sesudahnya, “Saya berharap kepada Allah agar dihapuskan (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR Muslim)
  3. Saat kita berpuasa doa kita sangat mustajab, “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah...(HR At Tirmidzi)
  4. Insya Allah dengan taubat sungguh-sungguh dan Puasa Arafah, Allah bebaskan dari api Neraka, “Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari Neraka adalah hari Arafah (HR Muslim)
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api Neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR Bukhari Muslim).
"SubhanAllah begitu besar rahmat dan karunia Allah untuk hamba-Nya yang berpuasa Arafah.
Semoga Allah perkenankan Arifin dan kalian sahabatku untuk menikmati Puasa Arafah... Aamiin".

Jumat, 19 Oktober 2012

Syahril Qur'an Bakti Orang Tua


BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANGTUA

A/B/C : Assalaamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
A/B/C : Hamdan wa syukron lillah. Ammaa ba’du.

A       : Sahabat-sahabat sekalian yang berbahagia,.. Ibu telah melahirkan kita  dengan susah yang bertambah susah. Sejak kecil kita dipelihara penuh dengan kasih sayang oleh  Bapak  dan Ibu kita, karena itulah sebagai anak sholeh kita wajib berbakti kepada Bapak dan ibu sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 36:
B     :
C      :
Sembahlah Allah & janganlah kamu mempersekutukan-Nya dgn sesuatupun. & berbuat baiklah kpd 2 orangtua…….
Saudara-saudaraku yg dirahmati Allah, Ayat tadi memerintahkan kepada kita agar senantiasa menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, & berbuat baik kepada kedua orang tua kita. Cobalah kita hitung jasa kedua orangtua kita, tentu tidak akan mampu menghitungnya, karena jasa mereka sangat besar tiada terkira.
Subhaanallah, betapamulia jasa kedua orangtua kita! Suatu hari, ada seorang sahabat bertanya kepada  Nabi SAW, “Siapakah yang patut memperoleh penghormatan terbaik dariku, wahai Nabi?” “Ibumu,” jawab Nabi singkat.” Lalu siapa lagi?” sahabat kembali bertanya. “Ibumu,” Nabi tetap memberi jawaban yg sama. “Lalu siapa? ” sahabat itu terus bertanya. “Ibumu,” lagi-lagi Nabi memberi jawaban yg sama hingga 3 kali.“Lalu siapa, wahai Nabi?” “Ayahmu.
Karena itulah, barangsiapa yang durhaka kepada kedua orangtua, niscaya Allah akan menurunkan siksa & neraka balasannya. Panasnya, duuuuh…. Minta ampun! Pokoknya puanas banget dech, ratusan kali lipat panasnya dari api dibumi ini. Nah, sebagai generasi shalih & shalihah, marilah kita berbakti kepada kedua orangtua & senantiasa berdoa untuk mereka:
B  : Ya Tuhanku, ampunilah aku & kedua orangtuaku, & sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangiku di kala aku masih kecil.
A  : Saudara-saudaraku yg dirahmati Allah, demikian yg dapat saya sampaikan. Mohon maaf atas segala kekurangan & kesalahan.
A     : Tiap nafas tiadalah kekal
B     : Siapkan bekal menjelang wafat
C     : Turutlah Nabi siapkan bekal
A     : Dengan sebar ilmu manfaat
A/B/C : Billahit-taufiqwal hidayah !
Wassalaamu’alaikum warohmatullohi. Wabarokatuh

Kamis, 18 Oktober 2012

Kurban dan Akekah



Aqiqah dan Kurban

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.
Pendapat pertama: Udh-hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).[1]
Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”[2]
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen).  Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.”[3]
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”[4]
Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”[5]
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.”[6] Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Point Penting dalam Penggabungan Niat
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat  diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat:
  1. Kesamaan jenis.
  2. Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.
Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).”[7] Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas.
Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu sama-sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di atas.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).”[8]
Kesimpulan
  1. Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
  2. Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
  3. Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
  4. Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal